Anak-Anak Tetaplah Anak-Anak

Cinta, lagi-lagi soal cinta. Cinta bisa mencakup semua usia baik bayi - anak-anak - remaja - alay - dewasa - lansia. Tak ada hal yang mampu membatasi cinta. Cinta itu gratis tapi selalu mempunyai nilai tersendiri. Bentuk cinta sendiri bermacam-macam, bisa kepedulian sesimpel "Kamu udah makan belum ?" atau ucapan "Selamat Pagi ya ! Have a nice day !". Semua hal tersebut adalah bentuk cinta.

Bicara soal cinta, masih banyak anak-anak yang kekurangan kasih sayang di luar sana. Tapi bukan mereka yang pacaran tiap hari karena jarang ketemu orangtua. Melainkan mereka, anak-anak yang masih dibawah umur tapi udah mampu membiayai hidupnya sendiri. Ini mereka :


Gue rasa bukan cuma di Surabaya aja, anak-anak jalanan juga bisa ditemukan di bermacam-macam kota di Indonesia. Gue nggak tau kenapa orangtua mereka rela anak-anaknya mempertaruhkan nasib di jalanan dengan umur semuda itu. Gue sendiri selalu miris ketika ketemu mereka di jalanan. Apalagi kalau mereka masih ada di jalanan jam dua belas malam. Bayangin aja, sebagai anak-anak mereka masih kuat berjualan koran di tengah malam ? Normalnya anak seusia mereka jam sembilan malam udah ada di rumah dan tidur sambil dibacain dongeng oleh orangtuanya masing-masing. Namun kenyataan yang gue temuin berbeda jauh dari ekspektasi gue.. dan itu pahit.

Waktu itu gue di perjalanan pulang menuju rumah pukul sebelas malam menjelang jam dua belas. Gue boncengan sama temen gue dan kebetulan lagi berhenti di lampu merah SMA Komplek Surabaya. Nggak lama kemudian ada banyak anak kecil yang dateng, dengan muka udah kumel, mata sembab mau nangis dan memaksa gue untuk beli korannya. "Mas, beli korannya mas.. Seikhlasnya mas.. Ayo mas.." Dengan wajah yang bikin gue jadi miris dan merinding, apalagi matanya berkaca-kaca. 

Lantas gue mengambil dompet dan menyerahkan uang lima ribuan sebelum lampu merah berubah menjadi hijau. Kejadian ini tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali gue alamin. Dulu saat gue masih les di LPIA Dharmahusada, gue selalu menemukan anak-anak jalanan yang berjualan koran di lampu merah perempatan Gubeng. Kejadiannya sama, pas gue berhenti di lampu merah tiba-tiba mereka datang dan nawarin korannya. Tapi gue nggak selalu ngasih duit, kalau ada rezeki aja sih. Pengennya ngasih, soalnya mereka selalu diem ketika gue tanyain "Udah makan belum ?" atau "Kamu nggak sekolah ? Rumahnya dimana ?". Mereka malah mengalihkan perhatian gue dengan nawarin korannya.

Kejadian yang terakhir ini sangat berkesan bagi gue, makanya masih inget sampai sekarang. Waktu itu gue pulang lewat perempatan Gubeng lagi dengan sepatu di kantong plastik yang gue taruh di dek motor. Gue sendiri nggak ngerasa kalau sepatu itu jatuh dan dipungut oleh Ibu-ibu yang masih nggendong anaknya sambil bawa bekas botol minuman untuk mengemis. "Mas, ini sepatunya ta ?" tanya Ibu-ibu tadi ke orang dibelakang gue. Orang itu bilang "Bukan bu, itu tuh yang depan." Gue langsung noleh dan Ibu-ibu tadi ngasih sepatu gue dengan raut wajah tersenyum.

Men, gue speechless banget dan nggak tau harus gimana. Itu sepatu kesayangan dan baru beberapa bulan dibeliin orangtua gue. Gue bersyukur banget masih ada orang yang hatinya sebaik itu. Gue nggak sempet ngasih apa-apa karena mobil di belakang gue udah mainin klakson melihat lampu yang udah berganti hijau. 

Beda banget sama orang yang gue temuin pas sepatu gue jatuh di tempat lain. Kali ini sepatu pantofel yang gue beli pakai uang lebaran. Jadi pas sepatunya yang jatuh langsung dipungut dan dibawa pulang. Gue nyariin sepatu itu sampai keliling dua kali, nggak ketemu sama sekali. Emag gue yang salah sih, seharusnya gue belajar dari kesalahan yang lama. Tapi, men yang ngambil itu naik sepeda motor waktu papasan sama gue. Otomatis kan ekonominya lebih baik daripada Ibu-ibu yang tadi, tapi isi hatinya sangat jauh berbeda.

Ya, dari post ini gue belajar "Don't judge a book by its cover" walaupun buku yang covernya jelek belum tentu laris. Tapi darisana gue tau, hati orang isinya berbeda-beda. Dan kita nggak bisa langsung ngejudge orang itu seenak mata kita memandang aja. 

Walaupun anak-anak jalanan berambut pirang, tindikan, kumel, bajunya sobek-sobek. Belum tentu hati mereka sejelek penampilannya. Itu cuma rasa takut kita aja, dan rasa takut itu harus diilangin. Kenapa nggak nyoba ngobrol sama mereka dulu ? Anak-anak jalanan itu unik kok, dan mereka adalah pekerja keras. Lebih bekerja keras daripada pemerintahnya yang cuma bisa tidur dan nonton bokep pas rapat DPR. Sisanya ? Ya tidur bareng sekretaris di ruangan kosong yang berjejer di gedung tsb.

Singkat cerita, Anak-anak ya tetap anak-anak. Bagaimanapun mereka, mereka pantas mendapatkan kasih sayang yang sama dengan anak-anak lain. Mungkin dunia bisa berlaku sekeras mungkin, tapi hati mereka tetap lembut. Sama seperti anak-anak lain yang mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya. Mereka juga berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Emang sih kalau pernyataan UU yang menerangkan rakyat miskin dipelihara negara belum terbukti sampai sekarang.

Yaudahlah mau gimana lagi ? Setidaknya beri mereka makanan/minuman atau uang untuk meringankan beban mereka. Syukur-syukur kita bisa membantu mereka belajar dengan mendirikan/bergabung di organisasi yang mengurus anak-anak jalanan. Anyway, Surabaya punya loh komunitas ini. Namanya SSCS, Save Street Child Surabaya. Yuk Gabung ! 

Rakyat miskin, anak-anak jalanan, bangunan kumuh adalah cerminan dari pekerjaan Pemerintah yang kerjanya cuma tidur dan nungguin modal kampanye balik.
Sekian ! Kalau kamu sendiri punya cerita apa ? Yuk share di comment box, atau ikutan Lomba ini juga disini http://www.sschildsurabaya.com/ayo-ngeblog/ . Dengan nge-share ceritamu, kamu otomatis telah menjadi teman dari Anak-anak jalanan di Surabaya #SemangatBerbagi.